JAKARTA memang menyimpan harapan dan mimpi besar.
Jakarta menyediakan segalanya, mulai dari yang biasa sampai luar biasa.
Dari yang berdasi hingga hidup di pinggir kali atau rel kereta api yang
tak sanggup makan nasi setiap hari. Dari yang tinggal di kawasan elite
bergedung menjulang tinggi nan megah, sampai gubuk-gubuk sempit
beratapkan langit di daerah kumuh.
Ketika itu, matahari sudah
memancarkan sinarnya dari balik awan yang mulai memutih. Tampak
segerombolan manusia yang dari tampangnya mulai menua, mendorong
gerobak bersama beberapa bocah yang membawa gitar kecil dan botol bekas
berisikan pasir.
Inilah kehidupan di pagi hari di wilayah
Tanggul Tenaga Listrik RT 03 RW 16, tepatnya bantaran rel kereta api
Tanah Abang-Serpong dan Tanah Abang Manggarai. Gubuk-gubuk ini dibuat
seadanya dari kardus dan tripleks bekas. Satu sama lain saling menempel
menghasilkan udara pengap dan lembab. Permukiman yang muncul awal
pertengahan tahun 1990-an itu berdiri di atas tanah kosong, entah siapa
yang punya. “Nah, itu bocahnya udah pada keluar,“ ucap Ubang, warga
asli RT 03 RW 16 Tanah Abang.
Di saat bersamaan, okezone
mencoba untuk bertanya kepada segerombolan anak kecil itu. Namun reaksi
mereka terkaget dan memperlihatkan keengganan saat hendak diajak
berbincang. Hanya bahasa tubuh yang mereka tunjukan yakni dengan
menggelengkan kepala. “Dia pasti enggak mau ngomong bang,” tambahnya.
Menurut
Ubang, segelintir anak memang kerap disewakan oleh orangtuanya kepada
pengelola (sindikat) untuk dipekerjakan di ibu kota. “Bawa anak dari
kampung disewa ama dia (sindikat). Orangtuanya sudah kenal ama
sindikatnya penyewaan anak untuk dijadikan pengamen di sini,” tambahnya.
Kata
Ubang, sindikat penyewaan anak memang kerap beroperasi di pemukiman
padat penduduk. Namun untuk big bosnya bukan orang setempat. “Enggak
mungkin enggak ada bos. Dan bosnya itu bukan orang sini. Dia
(sindikat), rata-rata ngambil dari pinggiran rel sini, Tanah Abang,”
ucap pria yang aktif di salah satu organisasi sosial di Jakarta ini.
Namun
bukan hanya wilayah Tanah Abang, melainkan di daerah Senen banyak juga
dijumpai pengamen, pengemis, dan lainnya. ”Di Senen juga ada di daerah
Tripoli. Pengamen dan pengemis biasanya mangkal di pertigaan Senen. Itu
juga ada yang ngerekrut. Kalau masuk ke sana harus ada kenalan juga,
entar bisa masuk enggak bisa keluar lagi,” tandasnya sambil tertawa.
Di
lain tempat, menurut Suparni (35), warga Bantaran Rel Velbak, Jalan H
Awaluddin 4 Rw 17 Kelurahan Kebon Melati, Kecematan Tanah Abang,
dirinya ke Jakarta karena mengikuti jejak orangtuanya. “Saya sudah 15
tahun di sini karena dulu diajak orangtua nyari rezeki di sini. Setelah
ibu saya meninggal, saya jadinya menetap di sini. Ada enam keluarga
saya yang tinggal di sini. Semuanya saudara dari bapak dan ibu juga ada
di sini. Paling kalau ke kampung saya hanya nengokin kuburan emak di
sana,” ucap wanita asli Surabaya itu.
Untuk biaya sehari-hari,
lanjut Suparni, suaminya bekerja sebagai tukang ojek yang kadang kuli
serabutan untuk menyekolahkan anak-anak dan biaya dapur sehari-hari.
“Bapaknya kerja apa aja, serabutan. Kadang ngojek ama mulung. Kalau
untuk listrik kita semua patungan,” tambah ibu tiga anak yang tinggal
digubuk berukuran 3x4 meter.
Tinggal di pinggir rel kereta bukan
tanpa risiko, karena bisa kapan saja terserempet kereta. Namun sirine
kereta yang melintas seolah-olah hanya penanda bagi mereka mesti
menyingkir sejenak dari atas rel. Penghuni gubuk ini memusatkan hampir
seluruh aktivitas kesehariannya hanya satu-dua meter dari rel kereta.
Mulai dari memasak, mencuci piring, memandikan anak, menjemur barang
bekas,hingga bermain. ”Kita sudah tahu kapan kereta akan lewat, jadi
enggak perlu takut juga,” tandas ibu yang berprofesi penjual makanan
ringan itu.
Senada diungkapkan Sati (65). Keluarganya yang sudah
tinggal cukup lama di pinggiran rel kereta api sering menerima
peringatan untuk pindah. Pasalnya, pemerintah setempat berencana
melakukan pembersihan di lokasi yang memang tidak dilarang untuk tempat
tinggal.
"Cuman denger-denger mau dibongkar tanggal 31 Agustus,
tapi sampai saat ini belum dibongkar juga. Kalau nanti dibongkar kita
akan pindah dan membangun rumah yang bisa bongkar-pasang,” ucap Sati
pasrah.
Dia beserta keluarga besarnya tidak akan meninggalkan
Jakarta. Namun yang paling dirinya cemaskan adalah anak-anak yang tidak
terima kalau rumahnya digusur. “Saya enggak akan pulang ke Surabaya
karena di sana sudah tidak ada keluarga lagi. Kalau di sini mau
ngapa-ngapain bisa menghasilkan duit. Saya sedih waktu mau dibongkar,
keponakan saya pada nangis karena enggak terima. Mungkin sekarang udah
pada gede jadinya ngerti,” terang Sati.
Mengenai modus penyewaan
anak kepada sindikat untuk dijadikan pengemis atau pengamen, mereka
kompak tutup mulut. Mereka sepertinya tidak ingin atau mungkin takut
tindakan eksplotasi anak ini diketahui umum. Ya, itulah salah satu sisi
kelam kaum perantau yang tinggal di Jakarta. Mereka hanya bisa bertahan
hidup dengan kondisi serba sulit. Untuk pulang ke kampung halaman pun
tak mungkin, karena sudah tak punya apa-apa lagi.(okezone)
Advertisement
- Recent Posts
- Comments
Masih Proses, Mohon Sabar :D
Sponsored By :Blog Davit.
0 komentar