Siapa yang tak kenal terasi? Terbuat dari fermentasi udang atau ikan ditambah garam atau campuran keduanya tanpa bahan lain. Citra rasa gurih dengan aroma khas membuat terasi termasuk salah satu bumbu penyedap yang populer digunakan di Tanah Air. Lotek dan rujak buah hanya segelintir dari makanan yang menggunakan terasi. Sentuhan bumbu gurih melejatkan rasa makanan jadi lebih nendang.
Pusat industri terasi kebanyakan tumbuh di daerah pesisir, seperti Indramayu dan Cirebon, Jawa Barat. Bumbu tersebut mudah sekali diperoleh di pasar-pasar tradisional dengan harga terjangkau. Kelezatan dan aroma khas terasi mampu memikat banyak orang. Lantas bagaimana proses pembuatan bumbu penyedap berbahan baku udang yang punya kekuatan melezatkan makanan ini?
Butuh udang cukup banyak untuk membuat terasi. Perbandingannya satu kuintal udang dilebur dengan 10kilogram garam. Uudang disortir kemudian dijemur sampai kering. Setelah itu digiling sampai halus dan dimasukkan ke karung untuk dijemur lagi sampai kadar airnya 0,1 persen. Kemudian diberikan gula dan penyedap rasa secukupnya dan digiling serta dicetak sesuai ukurannya.
Terasi yang berkualitas baik ditandai oleh warna gelap atau hitam kecokletan. Warna hitam pada terasi adalah alami. Warna itu berasal dari pigmen ikan atau udang. Sedang terasi warna merah atau lebih cerah biasanya menggunakan pewarna.
Di tengah upaya perajin terasi membuat penyedap ini dengan cara jujur, tim Sigi mendengar ada segelintir perajin atau pedagang curang yang menggunakan zat pewarna kimia berbahaya bukan untuk makanan. Informasi ini tim Sigi tindak lanjuti dengan meluncur ke lokasi dimana beredarnya terasi berpewarna berbahaya dengan kamera tersembunyi.
Kabar yang beredar ternyata bukan kabar burung. Berbekal informasi dari seorang kerabat, tim Sigi menyambangi perajin terasi yang dicurigai mengolah terasi dengan bahan kimia bukan untuk makanan. Sebut saja Virly. Wanita ini bersedia buka-bukaan seputar bisnis terasinya. Kedatangan tim Sigi cukup tepat, karena sang perajin terasi tengah bersiap membuang terasi olahannya ke pasaran. Dengan kamera tersembunyi, tim Sigi mengikuti perjalanan sang penjual terasi.
Masuk kampung, ia dengan luwes menawarkan terasi olahannya. Terasi dijual seharga Rp 2.000 atau ada pahe alias paket hemat, Rp 5.000 dapat tiga terasi. Tak berlama-lama, pembeli bermunculan. Dengan warna yang mencolok, merah, terasi itu menggugah pembeli. Pembeli tak berpikir panjang dan langsung menyambutnya.
Rupanya terasi bikinan Virly cukup tenar karena menurut penuturan pembelinya gurih dan enak jika dibikin sambal. Dalam sekejap terasi buatannya sudah habis terjual.
Keesokan harinya, proses pembuatan terasi yang dijanjikan pada kami, akan dikerjakan. Dimulai dengan berburu bahan baku. Udang didapat di tempat pelelangan ikan, tambahan bumbu gula merah dan gula pasir. Itu saja? Tentu saja tidak. Serbuk pewarna tekstil serta tawas ikut dibeli.
Dalam mengolah resep racikan terasinya, Virly mula-mula mencuci udang. Ternyata ada unsur lain yang di masukkan dalam terasi, yakni nasi aking. Saat udang dan nasi aking dicuci, tawas dilarutkan bersama dua bahan baku itu. Direndam beberapa saat dan lalu di rebus. Nasi aking rebusan lalu dicampur tawas lagi.
Giliran udang dijemur dan setelah kering di tumbuk.
Pewarna tekstil dibubuhkan untuk mempercantik racikannya. Asal-asalan, tidak ada takaran yang pasti. Nasi aking lalu ditumbuk. Entah apa yang merasuki si perajin terasi. Tumbukan udang dan nasi aking dibubuhi pewarna tekstil untuk kedua kalinya.
Tim Sigi tak berpuas diri dengan penemuan pembuatan terasi berbahan kimia berbahaya. Pencarian fakta dilanjutkan. Berbekal kamera tersembunyi, tim Sigi menyatroni industri terasi rumahan di salah satu pesisir pantai di wilayah Jawa Barat. Seperti yang sudah tim SIgi buktikan sebelumnya, pewarna tekstil dicampurkan ke dalam terasi olahannya dengan dalih agar terasi nampak lebih mencolok dan menarik.
Ternyata pembeli juga berperan terhadap keputusan perajin terasi menggunakan pewarna tekstil. Selain terasi kelihatan menarik, para konsumen beranggapan warna merah berasal dari udang rebon. Namun, kecurigaan sudah menggumpal atas terasi terasi olahan industri rumahan ini. Namun, tim Sigi tak ingin berspekulasi. Tim Sigi membawa terasi itu ke laboratorium Sucofindo untuk menguji ada tidaknya senyawa kimia berbahaya pada terasi.
Setelah dites, terasi telah terkontaminasi dengan dengan zat pewarna tekstil. Jelas-jelas berbahaya dan tak layak konsumsi. Bukan itu saja pelanggarannya, penggunaan tawas dalam pembuatan terasi tanpa disadari juga mengandung resiko. Apabila, dikonsumsi secara terus menerus, akan terakumulasi dalam tubuh dan
berdampak negatif jangka panjang terhadap kesehatan.
Pembinaan intensif terhadap para nelayan juga dilakukan Dinas Perikanan agar menghindari penggunaan zat pewarna yang berbahaya. Pengawasan terkoordinasi dari semua pihak sudah ditempuh dan telah disiapkan langkah kongkrit untuk menekan pembuatan terasi yang di campur dengan zat kimia berbahaya. Lalu bagaimana caranya agar kita terhindar dari pemakaian zat kimia berbahaya? Penting disimak tips berikut ini.
Terasi yang baik:
1. Berwarna gelap, cokelat kehitam-hitaman
2. Teksturnya tidak terlalu keras dan tidak terlalu lembek
3. Aroma terasi tajam dan tidak tengik
Terasi berpewarna:
1. Tampilan fisiknya berwarna merah mencolok
2. Warna merah menembus hingga ke dalam
3. Bila dipegang warna menempel di tangan
Dan yang terpenting, sanksi hukum yang punya efek jera harus ditegakkan agar perdagangan terasi berpewarna tekstil atau mengandung zat kimia berbahaya bisa dikikis. Semoga
Awas Terasi Berpewarna Tekstil Berbahaya
2 komentar
Leave a Reply
30 Oktober 2011 pukul 18.43
harus hati-hati nihh
30 Oktober 2011 pukul 18.44
mantepp dahhh untung ane gak pernah makan terasi :D