Aku wegah melu. Aku melu Mbak Lita (tetangga) wae,” ucap Ririn sambil merengek saat diajak neneknya naik mobil petugas. ”Ora papa ayo melu. Weruh Bapak,” balas sang nenek.” Wegah, aku wegah weruh Bapak,” kata Ririn lagi, dengan nada ketakutan.
Namun, Ririn, akhirnya mau mengikuti kakaknya, Riski (9) serta neneknya, naik mobil menuju RS Bhayangkara Yogyakarta untuk melihat jenazah Nur Iman.
Tewasnya Nur Iman, hingga kemarin masih meninggalkan tanda tanya besar di kalangan kerabat dan tetangganya. Dia tersungkur bersimbah darah di dekat gerobak dorong dagangannya. Menurut polisi, dia tertembak peluru teroris, karena mendekati arena baku tembak.
“Dia roboh di sini, lalu ada mobil hitam mundur, beberapa polisi mengangkatnya. Entah sudah mati apa masih hidup, tetapi kepalanya terkulai. Saya hanya berani melihat dari balik jendela kaca,” tutur seorang saksi mata yang takut menyebut identitasnya, kepada Joglosemar, Sabtu siang.
Posisi robohnya Nur Iman, berjarak lebih dari 50 meter dari posisi tewasnya Sigit dan Heru, dua teroris yang juga tewas dalam kejadian itu. Kedua orang itu, tewas di mulut gang, menghadapi serbuan aparat yang datang dari dua arah. Sedangkan Nur jauh di dalam gang. Sebuah kemasan susu kental manis yang digantung di gerobak, berlubang, kabarnya tertembus peluru yang lantas bersarang di tubuh ayah dua anak itu.
Tak ada saksi mata tewasnya Nur. Gunawan (45) seorang pedagang angkringan di gang sebelah, mengaku sempat melihat dua orang pria mengendarai sepeda motor Yamaha Yupiter yang dikejar oleh sejumlah sepeda motor lainnya. Di mulut gang, motor itu terjatuh, diikuti suara beberapa sepeda motor yang berjatuhan.
“Saya melihat dua pria itu lari masuk gang. Semula saya kira ada tawuran, tapi kemudian ada tembakan tunggal. Saya jadi mikir itu pasti polisi karena ada suara senjata api,” ujarnya.
Sesaat kemudian, terdengar seorang berteriak, “Melawan, melawan !” dan seketika terdengar suara beruntun yang mirip suara tembakan senapan otomatis. Tidak lama, situasi kembali tenang. “Tapi kapan Nur Iman kena, dan peluru siapa yang mengenainya, tidak ada yang tahu. Tapi memang nalarnya, posisi teroris membelakangi dia. Begitu ada keributan, polisi melarang siapa pun mendekat,” tutur Gunawan.
Tewasnya Nur Iman, baru disadari ketika Muhono, seorang kerabatnya heran karena Nur tidak tampak. “Sebelum ada ribut-ribut, dia itu sudah mau pulang. Dia sedang menyapu area berjualan, seperti biasanya. Lha kok tidak ada, tapi ada genangan darah di dekat gerobak dia,” tutur Muhono tampak sedih.
Setelah jenazah ketiga pria itu dibawa pergi, polisi langsung membersihkan genangan darah. Selongsong peluru dipunguti dengan cermat. Tinggal tersisa empat lubang bekas tembakan di tembok, dan beberapa bercak darah kering. Setelah itu, polisi terkesan buru-buru melepas police line dan meninggalkan lokasi, sehingga warga bebas untuk mendekati tempat kejadian.
Muhono pasrah kerabatnya itu tewas dengan cara seperti itu. ”Itu sudah takdir. Saya sangat yakin, dia korban salah tembak. Dia hanya pedagang angkringan, dan pengurus RT di sini. Tidak mungkin terkait kelompok teroris,” ujarnya.
Semalam, jenazah Nur Iman dimakamkan di desa asalnya, Desa Bolali RT 2 RW III, Kecamatan Wonosari, Klaten. Kedatangan jenazah, dikawal anggota Polri, termasuk perwakilah Densus 88 yang menyerahkan surat kematian.
Begitu tiba, jenazah Nur Iman disalatkan di Masjid Nurul Huda yang tidak jauh dari rumah duka. Warga kemudian, langsung membawa jenazah menuju pemakaman desa, diantar puluhan pelayat yang sudah menunggu sejak pukul 17.00.
Di antara puluhan pelayat yang hadir, rata-rata mereka terkejut mendengar nasib yang menimpa Nur. Marino (43), salah satu tetangga dekat dan teman kecil almarhum memastikan Nur Iman bukanlah orang jahat apalagi terlibat terorisme.
”Dia itu orangnya gampang bersosialisasi, setiap ada hajatan tetangga di Klaten atau acara keluarganya dia pasti datang,” ujarnya. Nur Iman sudah meninggalkan Klaten sejak enam tahun yang lalu dan tinggal di tempat asal Istrinya, Waliyem (38) yang juga bekerja di salah satu pabrik pemintal benang di Sukoharjo.
Sementara, Mujinem (50), bibi korban memohon pemerintah bertanggung jawab menyekolahkan semampu anak-anak itu tumbuh nanti. Dirinya mengaku tidak ingin biaya ganti rugi kematian, tetapi yang lebih penting adalah keberlangsungan nasib koponakannya. Kapolres Klaten, AKBP Kalingga Hendra Raharja yang hadir dalam upacara tersebut mengaku akan memperhatikan keluhan ini dan segera mengusahakannya.
Sebelumnya, Kadis Humas Mabes Polri Irjen Pol Anton Bachrul Alam di Jakarta, memastikan Polri akan memberikan uang santunan bagi ahli waris Nur Iman yang besarnya tidak disebutkan. Ditegaskan juga, Nur Iman tewas oleh peluru teroris. ”Iya (bukan ditembak polisi) karena pelaku Sigit yang menembak duluan dan kondisi di sana banyak warga yang menonton,” kata Anton.
Penjelasan awal bahwa Nur Iman tewas oleh peluru teroris, dirilis oleh Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigjen Pol Untung Yoga Ana dalam siaran pers, Sabtu pagi sekitar pukul 09.00. Mantan Kapolres Sukoharjo itu juga menyebut Nur Iman berada hanya beberapa meter dari TKP penembakan.
Advertisement
- Recent Posts
- Comments
Masih Proses, Mohon Sabar :D
Sponsored By :Blog Davit.
0 komentar